Senin, 22 November 2010

Di Dalam ajaran Islam, Mengasihi Sesama Manusia adalah bagian terpenting dari ajaran Nabi Muhammad saww dan Ahlul Baitnya. Mencintai umat manusia adalah realisasi dari ajaran al-Qur’an, yang mana pengutusan Nabi Muhammad Saww merupakan rahmat dan wujud kasih sayang Allah SwT atas Alam Semesta ,“Tiadalah Kami mengutusmu (Wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat (Ku) atas Alam Semesta” (QS Al-Anbiya’ [21] ayat 107)

Ayat di atas sekaligus menjelaskan tujuan dari diutusnya Muhammad saww sebagi Rasul dan Nabi, yaitu memanifestasikan Kasih Tuhan ke seluruh penjuru semesta.

Di dalam hadits lainnya diriwayatkan Rasulullah saww bersabda, ”Demi Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah masuk Surga kecuali orang yang memiliki rasa kasih sayang.”

Para sahabat menyahut, “Kami semua memiliki kasih sayang!”

Nabi berkata, “Bukan itu yang kumaksudkan, kalian bisa dikatakan sebagai orang yang memiliki kasih sayang jika kasih sayang kalian juga dilimpahkan kepada seluruh umat manusia dan alam semesta” 79]

Mungkin kita pernah berdoa, ”Ya Allah, kasihanilah kami” Tetapi bagaimana jika ditanyakan kepada kita,”Apakah kalian sendiri juga suka menyayangi?”

Atau hampir setiap waktu kita berdo’a, “Ya Allah, maafkanlah kami” Tetapi bagaimana jika ditanyakan kepada kita,”Seberapa banyak kalian telah memberi maaf kepada manusia?”

Nabi Saww bersabda, “Allah Yang Maha Rahman mengasihi dan menyayangi orang-orang yang memiliki kasih sayang, karena itu kasihilah mereka yang di bumi niscaya mereka yang di langit juga mengasihimu!80]

Rasa belas kasih berarti kepekaan terhadap kondisi atau status dari semua ciptaan Tuhan, baik itu manusia, binatang atau bahkan tumbuh-tumbuhan. Seseorang tidak mungkin bisa memiliki rasa belas kasih kecuali jika ia memiliki kepedulian kepada kebutuhan dan kondisi-kondisi orang lain.

Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan Zakat dan Khumus atas kaum muslimin untuk membebaskan kaum yang lemah, yatim piatu, para janda, orang-orang miskin dan tertindas demi jiwa kaum muslimin itu sendiri. Sebab kepekaan, dan kepedulian kepada mereka yang lemah (dlu’afa) merupakan stimulasi untuk membersihkan jiwa (nafs) agar tumbuh pula kecintaan dan kasih sayang dari jiwa yang telah tersucikan tadi.

Bahkan puasa yang diwajibkan pada bulan Ramadhan itu pun bertujuan untuk itu (‘illat), sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ja’far al-Shadiq as, “Allah mewajibkan puasa untuk mempersamakan si kaya dan si miskin. Dengan puasa orang kaya akan merasakan derita lapar untuk menumbuhkan rasa belas kasihnya kepada si miskin, karena selama ini si kaya tidak pernah merasakannya. Allah menghendaki untuk menempat­kan makhluk-makhluk-Nya pada suatu pijakan yang sama dengan jalan membuat si kaya turut merasakan nestapanya lapar, sehingga ia menaruh belas kasih kepada orang yang lemah dan lapar.” 81]

KISAH SUFI ABU BIN ‘AZHIM

Diriwayatkan bahwa seorang sufi besar, Abu bin Azhim, suatu waktu terbangun di tengah malam. Kamarnya bermandikan cahaya. Di tengah tengah cahaya itu ia melihat sesosok makhluk, seorang malaikat yang sedang memegang sebuah buku. Abu bin Azhim bertanya: “Apa yang sedang anda kerjakan?” “Aku sedang mencatat daftar pecinta Tuhan”, jawab sang malaikat.

Abu bin Azhim ingin sekali namanya tercantum sebagai salah seorang pencinta Tuhan di dalam daftar tersebut. Dengan cemas ia mencoba melongok ke daftar itu, tapi kemudian ia sangat terpukul dan kecewa, karena ternyata namanya tidak tercantum di daftar tersebut.

Ia pun bergumam: “Mungkin aku terlalu kotor untuk menjadi pecinta Tuhan, tapi sejak malam ini aku ingin menjadi pecinta manusia”. Beberapa hari kemudian ia terbangun lagi di tengah malam. Kamarnya dipenuhi cahaya terang benderang, malaikat yang bercahaya itu hadir lagi.

Abu bin Azhim kembali mencoba melihat daftar para pencinta Tuhan, dan ia pun sangat terkejut, karena namanya tercantum pada papan atas daftar pecinta Tuhan. Ia pun bertanya kepada sang malaikat sambil terheran-heran, “Aku ini bukan pecinta Tuhan, aku hanyalah pecinta manusia, bagaimana mungkin namaku tercantum sebagai salah seorang pencinta Tuhan?”. Sang malaikat pun menjawab, “Baru saja Tuhan berfirman kepadaku bahwa engkau tidak akan pernah bisa mencintai Tuhan sebelum kamu mencintai sesama manusia” 82]

Rasulullah saww juga bersabda, “Kecewa dan Merugilah orang yang Allah tidak mengaruniai di dalam hatinya rasa kasih sayang kepada umat manusia.”83]

Mencintai Rasulullah saww sama dengan mencintai Allah SwT, mencintai orang tua kita sama dengan mencintai Allah SwT, mencintai sesama manusia sama dengan mencintai Allah SwT. Seorang ‘Arif bi Allah, yaitu, Ahmad ibn Muhammad al-Sawih al-Maliki al-Khalwati berkata, “Engkaulah Muhammad, pintu Allah (Baab Allah), tanpa engkau tidak sampai orang kepada-Nya. Dia, Muhammad, pintu Allah yang agung dan rahasia-Nya (sirruhu), yang membanggakan. Sampainya seseorang kepada Muhammad juga sampainya orang itu kepada Allah, karena sesungguhnya dua hadhrat (Allah dan Muhammad) adalah satu dan siapa yang membedakannya berarti dia belum mengenyam nikmatnya Ma’rifah!84]

Kita akan mendengar satu kisah lagi yang sangat indah yang berkenaan dengan Ahlul Bait Nabi-Nya, yaitu percakapan Imam Husain as, yang saat itu masih kanak-kanak, dengan ayahnya, Imam Ali as, sang Insan kamil.

DIALOG IMAM HUSAIN AS DENGAN AYAHNYA
Sewaktu masih kecil Imam Husain as (cucu Rasulullah saww) bertanya kepada ayahnya, Imam Ali as, “Ayah, apakah engkau mencintai Allah?”

Imam Ali as menjawab, “Ya, Tentu!”

Lalu Husain kecil bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?” (maksudnya Rasulullah)

Imam Ali as kembali menjawab, “Ya, tentu saja!”.

Imam Husain bertanya lagi, “Apakah engkau juga mencintai Ibuku?”

Lagi-lagi Imam Ali as menjawab, “Ya, Tentu saja aku mencintai ibumu”

Husain kecil kembali bertanya, “Apakah engkau juga mencintaiku?”

Imam Ali as tersenyum dan menjawab, “Ya, tentu saja aku juga mencintaimu!” Terakhir kali Husain kecil bertanya,”Ayahku, bagaimana bisa engkau menyatukan begitu banyak cinta di dalam hatimu?”

Imam Ali as kemudian menjelaskan kepada puteranya yang sangat dicintainya itu, “Wahai Anakku, pertanyaanmu hebat! Ketahuilah, cintaku pada kakek dari ibumu (Nabi saww), ibumu (Fathimah as) dan kepadamu sendiri adalah karena cintaku kepada Allah. Karena sesungguhnya semua cintaku itu adalah cabang-cabang cintaku kepada Allah Swt”
Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu, Husain kecil tersenyum mengerti. 85]

MENCINTAI MANUSIA SAMA DENGAN MENCINTAI TUHAN
Mencintai manusia, pada hakikatnya, sama dengan mencintai Tuhan, karena manusia dan alam ini adalah manifestasi-Nya juga.

Di balik nama-nama Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, Husain atau pun isteri, anak-anak kita, atau siapa pun, sejatinya, di sanalah bersimpuh wajah-Nya dan manifestasi dari nama-nama-Nya.

Al-Qur’an bahkan mewasiati kita agar kita saling nasihat menasihati di dalam menetapi kebenaran, kesabaran dan kasih sayang! : “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakkan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir, dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (Lihatlah al-Qur’an Surat Al-Ashr dan QS 90 : 17)

Rasulullah saww bersabda :
“Sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang
dan menyayangi orang-orang yang memiliki kasih sayang
dan Dia melimpahkan Rahmat-Nya
atas orang-orang yang memiliki kasih sayang”

(Kanz al-‘Ummal hadits ke : 10381)

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.


http://qitori.wordpress.com/2007/12/13/cinta-kepada-allah-dan-cinta-kepada-manusia-mungkinkah-dipadukan/

Senin, 19 Juli 2010

Memaafkan adalah Karunia Terindah

Kalau cinta memang bukan hanya dalam kata-kata, tentu tidak ada kesalahan yang tidak bisa dimaafkan! Orang yang mampu memaafkan hanyalah orang-orang yang punya cinta, Tetapi, orang yang punya cinta seharusnya tidak menyakiti atau menguji sesama dengan mengulang-ulang kesalahan yang itu-itu juga.
Joger, Bali 280496 A

Memaafkan bukanlah sebuah perasaan, tetapi sebentuk tindakan, sebentuk kemauan dari diri seseorang. Memaafkan adalah suatu mukjizat yang secara ajaib bisa dirasakan, tetapi tidak banyak di antara kita mampu melakukannya dengan mudah.

Anda mau memaafkan, pasti Anda bisa memaafkan. Anda tidak mau memaafkan, pasti Anda sendiri yang akan merasakan akibatnya karena memelihara ingatan dengan segala konsekuensinya yang membuat kita “sakit hati” atau “sakit pikir”

Memelihara dendam karena orang lain menyakiti hati kita adalah seperti menelan racun sambil berharap orang lainlah yang akan mati!

Lewis B Smedes dalam bukunya Mengampuni dan Melupakan mengajarkan bagaimana menyembuhkan “luka hati” yang tidak selayaknya kita terima.

Mukjizat ketika Memaafkan

Pemberian maaf mendapatkan keindahannya yang unik dari penyembuhan yang didatangkannya kepada semua jenis “sakit hati”. Memaafkan bukan berarti melupakan tindakan orang yang menyakiti kita, seolah-olah memaafkan harus satu paket dengan melupakan kejadiannya. Kita harus bisa memaafkan, tetapi bukan melupakan begitu saja sampai suatu hari kita merasakan hal yang sama yang diperbuat oleh orang yang sama.

Sebagian orang menyakiti hati kita karena mereka mengira kita layak menerimanya. Terkadang kita tidak tahu dengan pasti apakah kita menjadi korban dari kejadian yang tak terhindarkan yang menimbulkan sakit hati itu secara disengaja atau tidak disengaja oleh orang yang melakukannya pada diri kita.

Akan mempunyai perbedaan yang sangat besar kalau kita mengalami “sakit hati”, tetapi dengan kesadaran penuh kita menelaah masuk ke diri sendiri untuk bertanya, apakah saya pantas mendapat perlakuan yang menyakitkan itu. Atau memang kita mendapatkannya dari serangan yang memang orang lain lakukan dengan sengaja secara curang pada diri kita.

Kalau Anda menerima rasa “sakit hati” yang dilontarkan orang lain sebagai akibat dari perbuatan sendiri yang tanpa disengaja atau bahkan disengaja telah Anda lakukan, nasihat yang bisa diberikan adalah sebagai berikut.

Maafkan dan lupakan! Anda bisa hidup sehat dan sejahtera. Tetapi, kalau Anda menerima “sakit hati” yang berasal dari serangan curang seseorang yang memang dengan sengaja atau tidak disengaja perbuatannya membuat masalah yang berakibat Anda mengalami sakit hati.

Karena itu, nasihat yang bisa diberikan adalah tetap memaafkan, tetapi jangan beri kesempatan lagi padanya untuk menyakiti hati Anda! Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghindarinya berbuat hal yang sama pada Anda di kemudian hari.

Pemberian Maaf

Pemberian maaf bak melumasi roda-roda kehidupan ketika gigi-giginya mulai aus. Kalau pilihan waktunya tepat dan dengan maksud yang tulus, permintaan maaf yang manis merupakan sikap hormat kepada peradaban manusia. Tetapi, sebagian orang lebih mudah memberi maaf atas kesalahan yang orang lain lakukan terhadap dirinya karena banyak alasan. Biasanya yang paling kuno adalah karena sangat mencintainya.

Tetapi untuk memaafkan dirinya sendiri banyak orang yang tidak mampu melakukannya, dan membuat penyesalan yang tak berujung sepanjang hidup. Memaafkan diri sendiri memerlukan keberanian yang besar, lagi pula apakah Anda berani membebaskan diri dari bayang-bayang kesalahan yang dilakukan pada hari-hari lalu?

Memaafkan diri sendiri dan membebaskan diri dari rasa bersalah sangat memerlukan keberanian dan keteguhan hati. Kita akan memulainya untuk bisa keluar dari bayang-bayang masa lalu dengan membuat skenario baru untuk naskah hidup kita selanjutnya. Kita perlu memaafkan diri sendiri, seperti layaknya kita memaafkan orang yang berbuat salah kepada kita, tetapi orang tersebut sudah meninggal.

Jadi tidak ada lagi harapan apa pun dari orang tersebut karena sudah tidak ada. Memaafkan tidak mengubah fakta dari masa lalu kita. Klimaks dari pemberian maaf adalah hal itu akan datang setelah kita merasa bersatu kembali dengan diri sendiri secara utuh.

Kita menyadari telah berbuat kesalahan dan tidak punya daya dan kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahan itu, dan ada semacam perjanjian yang hanya diri kita sendiri yang mengetahui bagaimana kita berjanji tidak akan mengulanginya dan akan menjalani hidup baru dengan cara berpikir baru untuk meraih pengampunan yang diberikan oleh diri sendiri yang menjadikan kita hidup lebih baik.

Memaafkan diri sendiri adalah mukjizat penyembuhan yang tuntas atas kehidupan itu sendiri. Bisa memaafkan adalah karunia yang terindah dalam hidup seseorang, baik itu memaafkan diri sendiri maupun memaafkan orang lain.

Sabtu, 20 Maret 2010

KISAH DUA TUKANG SOL

Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.

Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.

“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin tahitan.” kata mang Udin memelas.

“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.

“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”

Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.

Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,

“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.

“Abang yakin?”

“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereke bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.

“Apa kabar mang Udin?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.

Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,

“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.

“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.

Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.

Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.

“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.

“Tidak.”

“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”

Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.

Senin, 22 Februari 2010

Iman Adalah Kehidupan

Orang-orang yang sesungguhnya paling sengsara adalah mereka yang
miskin iman dan mengalami krisis keyakinan. Mereka ini, selamanya akan
berada dalam kesengsaraan, kepedihan, kemurkaan, dan kehinaan.
{Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit.}
(QS. Thaha: 124)
Tak ada sesuatu yang dapat membahagiakan jiwa, membersibkannya,
menyucikannya, membuatnya bahagia, dan mengusir kegundahan darinya,
selain keimanan yang benar kepada Allah s.w.t., Rabb semesta alam.
Singkatnya, kehidupan akan terasa hambar tanpa iman.
Dalam pandangan para pembangkang Allah yang sama sekali tidak
beriman, cara terbaik untuk menenangkan jiwa adalah dengan bunuh diri.
Menurut mereka, dengan bunuh diri orang akan terbebas dari segala tekanan,
kegelapan, dan bencana dalam hidupnya. Betapa malangnya hidup yang
miskin iman! Dan betapa pedihnya siksa dan azab yang akan dirasakan oleh
orang-orang yang menyimpang dari tuntunan Allah di akherat kelak!
{Dan, (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka
belum pernah beriman kepadanya (al-Quran) pada permulaannya, dan Kami
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat sesat.}
(QS. Al-An'am: 110)
Kini, sudah saatnya dunia menerima dengan tulus ikhlas dan beriman
dengan sesungguhnya bahwa "tidak ada llah selain Allah". Betapapun,
pengalaman dan uji coba manusia sepanjang sejarah kehidupan dunia ini
dari abad ke abad telah membuktikan banyak hal; menyadarkan akal bahwa
berhala-berhala itu takhayul belaka, kekafiran itu sumber petaka,
pembangkangan itu dusta, para rasul itu benar adanya, dan Allah benarbenar
Sang Pemilik kerajaan bumi dan langit— segala puji bagi Allah dan
Dia sungguh-sungguh Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Seberapa besar — kuat atau lemah, hangat atau dingin — iman Anda,
maka sebatas itu pula kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan
ketenangan Anda.
{Barangsiapa mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.}
(QS. An-Nahl: 97)
Maksud kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dalam ayat ini adalah
ketenangan jiwa mereka dikarenakan janji baik Rabb mereka, keteguhan
hati mereka dalam mencintai Dzat yang menciptakan mereka, kesucian
nurani mereka dari unsur-unsur penyimpangan iman, ketenangan mereka
dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati mereka dalam
menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan mereka dalam
menerima takdir. Dan itu semua adalah karena mereka benar-benar yakin
dan tulus menerima bahwa Allah adalah Rabb mereka, Islam agama mereka,
dan Muhammad adalah nabi dan rasul yang diutus Allah untuk mereka.
wao.....
ngrasa begitu ga bersemangat....
tapi apa mau dikata.....
kalao sudah begini susah untuk kembali sempurna....
susahnya kalo semangat hilang.....
tapi jangan pernah menyererah....
coba teruz untuk maju.....